Makalah  Hukum Keluarga Islam

KODIFIKASI HUKUM KELUARGA
DI DUNIA ISLAM KONTEMPORER

Oleh :
Muhammad Ilham Purnama
140101062

Dosen Pembimbing :
H. Edi Darmawijaya, S.Ag, M.Ag



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
FAKULTAS SYARIAHJURUSAN HUKUM KELUARAGA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2015




PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Kodifikasi dalam bahasa Arabnya disebut dengan taqnîn.Ia seakar dengan kata qanûn, yang terambil dari bahasa Yunani, canon, melalui bahasa Siryani. Secara etinologi, qanûn berarti "ukuran segala sesuatu" (al-mishtharah).Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini digunakan untuk menyebut "suatu peraturan" (al-qâ'idah).). Pengertian inilah yang masyhur dan umum digunakan sampai sekarang.Ulama fikih mengemukakan bahwa secara terminologis al-taqnîn bisa diartikan sebagai "penetapan —oleh penguasa— sekumpulan undang-undang untuk mengatur masalah tertentu".
B.     RUMUSAN MASALAH

1.2  Permasalahan

1.      Bagaimana Sejarah Kodifikasi Hukum Islam
2.      Bagaimana Sejarah Kodifikasi Hukum Keluarga Islam
3.      Bagaimana Urgensi Kodifikasi Hukum Kelurga
           
1.3  Tujuan Pembahasan
1.      Menjelaskan bagaimana Sejarah Kodifikasi Hukum Islam
2.      Menjelaskan bagaimana Sejarah Kodifikasi Hukum Keluarga Islam
3.      Menjelaskan bagaimana Urgensi Kodifikasi Hukum Kelurga




PEMBAHASAN

A.    Sejarah Kodifikasi Hukum Islam
Pemikiran tentang al-taqnîn dalam Islam sebenarnya telah dimulai sejak zaman al-khulafâ` al-râsyidîn, ketika Umar mengajukan usulan kepada Khalifah Abu Bakar untuk membukukan al-Qur'an. Kemudian pada masa Umar bin Abdul Aziz jadi khalifah, dilakukan pula taqnîn terhadap sunnah Rasulullah SAW[1].
Sedang ide taqnîn terhadap hukum Islam atau fikih, pertama kali dicanangkan oleh Abu Muhammad Ibn al-Muqaffa'.Ia adalah seorang pegawai administrasi di masa kekasaan al-Mansur (berkuasa 754-775). Ia menghimbau khalifah, melalui bukunya yang Risâlah al-Shahâbah, untuk melakukan taqnîn karena menurutnya terdapat kekacauan hukum dan peradilan ketika itu. Ia menyarankan agar hukum yang dikodifikasi itu tidak berasal dari satu mazhab fikih saja, melainkan diambil dari berbagai pendapat mazhab fikih yang lebih sesuai dengan kondisi dan kemaslahatan yang menghendaki.
Tapi khalifah tidak mengikuti saran itu sepenuhnya; malah mereka menganggap hal itu melanggar kesalehan. Mereka mencoba "memurnikan" masyarakat muslim dari hal-hal yang mereka rasa, secara social, berbahaya dan asing. Ironisnya "pemurnian Islam" Bani Abbasiyah bersamaan waktunya dengan penyerapan berbagai ilmu pengetahun (filsafat) dari Yunani dan Persia serta cerita rakyat mengenai paham tauhid pra-Islam yang sebagian berpengaruh penting sampai saat ini, seperti digambarkan oleh cerita para nabi yang ditulis oleh Al-Kisa'iy (ahli nahu dan guru privat seorang pangeran).Sungguhpun Bani Abassiyah tetap memelihara administrai pengadilan, seperti Bani Umayyah, mereka juga mempromosikan studi ilmu dan status para pencarinya.Dalam hal itu, mereka sangat membantu perkembangan taqnîn, yaitu kemunculan suatu badan hukum mandiri (syari'ah).

     
Selanjutnya, Khalifah al-Mansur meminta Imam Malik untuk menuliskan sebuah buku yang mencakup seluruh maslaah fikih dan memberi waktu selama satu tahun untuk menyelesaikanya.Walau pada awalnya menolak, Imam Malik akhirnya menyusun kitab al-Muwâththa` dan menyerahkannya kepada Muhammad bin al-Mahdi (utusan khalifah) sesuai dengan batas waktu yang ditentukan.Namun demikian, penerapan kitab hasil kodifikasi tersebut tidak berjalan dengan lancar.
Kodifikasi hukum Islam yang sesungguhnya baru terlaksana pada tahun 1293 H/1876 M oleh Kerajaan Turki Usmani (Ottoman) dengan menerbitkan kitab yang berjudul Majallah al-Ahkâm al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani), yang diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaan Tur    ki Usmani ketika itu sampai dasawarsa ketiga abad ke-20.Akan tetapi, kodifikasi hukum yang dihimpun ulama fikih di zmaan Turki Usmani ini hanya mencakup bidang muamalah dan berasal dari satu mazhab, yaitu Mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah, yang tidak tunduk sepenuhnya kepada kerajaan Turki Usmani, tidak menerima kodifikasi hukum fikih tersebut karena meyoritas umat Islam di kedua tempat itu bermazhab Syâfi'iy.
Setelah perang dunia ke-2, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab, yang diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula oleh kodifikasi tahun 1883. Kodifikasi Mesir ini merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu, pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir bidang perdata yang diambil secara murni dari hukum Islam (fikih). Lebih lanjut, kodifikasi di Mesir mengalami beberapa kali perubahan, antara lain pada tahun 1920, 1929, dan 1952.Berikutnya muncul berbagai kodifikasi hukum di berbagai negara, seperti Irak (tahun 1951 dan 1959 dan diubah tahun 1963 dan 1978), di Yordania (tahun 1951 dan diubah pada tahun 1976), Libanon (tahun 1917 dan 1934), Suriah (tahun 1949, 1953 dan 1975), Libya (tahun 1953), Maroko (tahun 1913 dan 1957), Tunisia (tahun 1906, 1913, dan 1958), Sudan (tahun 1967), Kuwait (tahun 1983, dan Uni Emirat Arab (tahun 1979, 1980, 1984, 1985, dan 1986). Kodifikasi tersebut lebih banyak dilakukan dalam bidang hukum keluarga[2].

Walau kenyataannya kodifikasi telah dilakukan, namun para ulama fikih mengemukakan beberapa kelemahan upaya tersebut. Di antara kelemahan itu adalah:
1.      Munculnya kekakuan hukum, sementara peradaban dan persoalan manusia terus berkembang. Dengan adanya kodifikasi, maka banyak persoalan yang tidak terjawab oleh ketentuan yang ada. Artinya kodifikasi menjadi faktor yang memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
2.      Mandeknya upaya ijtihad.
3.      Menimbulkan taklid baru terhadap pendapat yang dinyatakan sebagai peraturan yang telah dikodifiksi, dan hal itu bertentangan dengan ungkapan ikhtilâf alâ al-a`immah rahmah.

Di samping itu, kodifikasi juga memberikan dampak positif yang juga perlu dipertimbangkanDi antara sisi positifnya itu adalah:
1.      Memudahkan para praktisi hukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keingannya, tanpa harus menelusuri dan mentakhrij perbedaan pendapat, baik ulama antar mazhab maupun ulama dalam satu mazhab.
2.      Mengukuhkan fikih Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat bagi para praktisi hukum dan hakim yang di zaman modern ini umumnya belum memenuhi syarat mujtahid. Hal ini dirasakan lebih penting lagi bagi orang awam atau orang yang tidak punya kesempatan banyak untuk menggali dan meneliti pendapat yang paling kuat di antara berbagai pendapat yang berbeda.
3.      Menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktisi hukum yang juga sering menjadi kendala di lembaga hukum dan pengadilan.
4.      Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga-lembaga peradilan.
Meskipun ada kekhawatiran terhadap kodifikasi hukum, akhirnya ulama lebih banyak mendukung ide kodifikasi di negara masing-masing, karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio-kultural dan politik.Bahkan di berbagai negara, kodifikasi hukum disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan bidangnya masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum perdata, pidana, perseorangan serta keluarga, peradilan, tata usaha negara, administrasi negara dan keuangan Negara.
      Kodifikasi hukum untuk umat Islam di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan, tetapi statusnya masih berada di bawah dominasi hukum adat, sebab teori resepsi sangat berpengaruh dalam sistem hukum saat itu. Karenanya dapat dikatakan bahwa kodifikasi tersebut baru dimulai pada tahun 1974 dengan munculnya kodifikasi Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dengan peraturan pelaksanaannya (PP. No. 7/1989 dan PP No. 10/1983), yang mengatur perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil dan ABRI.Kemudian muncul lagi Undang-undang Peradilan Agama (UU No. 7/1989 yang diubah sebagian isinya dengan UU No. 3/2006). Undang-undang ini pada dasarnya merupakan tuntutan dari UU No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengakui adanya empat macam peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama.Keempat peradilan ini memiliki kedudukan sama dan berwenang secara mandiri mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya. Selanjutnya, keluar pula Inperes RI No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan, perceraian, waris, wakaf, wasiat dan hibah.
Sebelum UU No. 1/1974, UU No. 7/1989, dan Inpres RI No. 1/1991, di Indonesia telah ada peraturan yang mengatur peradilan agama serta materi hukumnya, namun semua itu adalah produk dari zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kodifikasi hukum Islam di atas merupakan produk putra-putri Indonesia, yang menyangkut hukum Islam di Indonesia.
B.     Sejarah Kodifikasi Hukum Keluarga Islam
Kajian tersendiri terhadap masalah hukum keluarga baru dimulai sekitar paro kedua abad ke-19. Sebelumnya hukum perseorangan dan keluarga itu tersebar dalam berbagai bab fikih. orang yang pertama memisahkannya dalam suatu kajian tersendiri adalah Muhammad Qudri Pasya, ahli hukum Islam di Mesir. Dialah orang pertama yang mengkodifikasikan al-ahwâl al-syakhshiyyaħ dalam suatu buku yang berjudul al-Ahkâm al-Syar'iyyah fî al-Ahwâl al-Syakhshiyyah (hukum syâri'at/agama dalam hal keluarga).Kodifikasi hukum keluarga itu meliputi hukum perkawinan, perceraian, wasiat, ahliyyaħ (kecakapan bertindak hukum), harta warisan, dan hibah.Meskipun belum dinyatakan resmi berlaku oleh pemerintah, kodifikasi tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan berbagai masalah pribadi dan keluarga di pengadilan.Dalam perkembangan selanjutnya, kodifikasi itu dijadikan pedoman dan diterapkan pada Mahkamah Syar'iyyaħ Mesir.Pasal 13 Kitab Undang-undang Acara Peradilan Mesir menyebutkan bahwa al-ahwâl al-syakhshiyyaħ menyangkut maslaah-masalah yang berhubungan dengan pribadi, ahliyyaħ, dan keluarga (seperti perkawinan dan berbagai akibat hukumnya, pengampuan, orang mafqud dan harta warisan)[3].
Penerapan hukum keluarga di Kerajaan Turki Usmani dimulai sejak al-ahwâl al-syakhshiyyah dikodifikasikan pada tahun 1917, yang diberi nama Qanûn Huqûq al-`A'ilah al-'Usmaniy (undang-undang hak keluarga di Turki Usmani). Hukum tersebut berlaku untuk seluruh wilayah kerajaan Turki Usmani, kecuali Mesir yang diberi otonomi penuh pada tahun 1805 dan memerdekakan diri dari kekuasaan Turki pada tahun 1873. Keistimewaan Qanûn al-Huqûq al-`A'ilah al-'Usmaniy ini adalah bahwa hukum yang terkandung di dalamnya tidak lagi terikat pada Mazhab Hanafi mazhab resmi negara, tetapi merupakan gabungan dari pendapat-pendapat terkuat dari mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syâfi'iy dan Hanbali). Selain itu, dalam beberapa hal ditemukan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.
Pada awalnya Qanûn al-Huqûq al-A'ilah al-'Usmaniy hanya meliputi sengketa yangberkaitan dengan perkawinan dan perceraian.Tapi perkembangan di negara-negara Arab yang berada di bawah kekuasaannya ditemukan perubahan dan penambahan bidang cakupannya. Di Suriah, hukum keluarga Turki ini berlaku sampai tahun 1953. Setelah itu, cakupannya diperluas sampai mencakup permasalahan wasiat, ahliyyah, harta warisan, dan wakaf.Hukum yang telah disempurnakan itu dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 November 1953.


Sementara kerajaan Arab Saudi, yang tidak mengenal adanya hukum al-ahwâl al-syakhshiyyah, para hakim pada umumnya menyelesaikan perkara hukum keluarga dengan merujuk pada kitab-kitab fikih mazhab Hanbali mazhab resmi negara. Hal yang sama juga berlaku di Yaman. Dalam menyelesaikan hal itu, para hakim menggunakan kitab-kitab fikih mazhab Zaydiyyah sebagai pedoman, karena kebanyakan umat Islam di sana bermazhab Zaydiyyah.
Dalam perkembangan lebih lanjut, uraian al-ahwâl al-syakhshiyyah telah lebih sistematis dan lebih mudah dipahami, karena telah diklasifikasikan dalam tiga bagian besar, yaitu:
1. Ketentuan hukum mengenai kedudukan seseorang di depan hukum, yaitu tentang ahliyyah serta wewenang yang bisa dipikulnya. Di samping itu, juga diuraikan hal-hal yang dapat menghilangkan ahliyyah itu sendiri.
2. Ketentuan hukum yang menyangkut tata cara berkeluarga.
3.Ketentuan hukum yang menyangkut harta bersama dalam hubungan dengan masalah warisan.
Di Indonesia, persoalan al-ahwâl al-syakhshiyyah talah dikodifikasikan melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan berdasarkan Inpres No. 1/1991 dan Kep.Menag No. 154/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.Secara garis besarnya, KHI dibagi menjadi tiga bagian (disebut dengan istilah Buku) yang mengatur tiga persoalan utama, yaitu Buku I tentang perkawinan dan berbagai aspeknya, Buku II tentang pembagian harta warisan, dan Buku III tentang hukum perwakafan.
Kodifikasi yang dilakukan di berbagai negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas muslim, termasuk Indonesia, secara jelas mengarah pada unifikasi. Di mana berbagai aturan yang terdapat dalam fikih, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga, dipilih dan ditetapkan sebagai aturan yang mengikat bagi umat Islam di negara itu.
Dalam pemahaman secara luas, penulisan berabgai kitab fikih pada masa klasik juga bisa disebut sebagai kodifikasi dan unifikasi.Tapi penulisan kitab fikih itu memiliki perbedaan penting dengan kodifikasi dan unifikasi hukum di zaman modern.Penulisan kitab fikih biasanya selalu didasarkan pada "alur pikir" tertentu yang merujuk pada Imam "utama" perumus alur pikir tersebut. Selain itu, penulisan itu juga dilakukan dengan mengikuti suatu aliran teologis tertentu. Sementara kodifikasi dan unifikasi pada zaman modern tidak selalu didasarkan pada alur pikir mazhab tertentu dan juga sering dilakukan dengan cara "lintas teologis". Artinya, selama suatu aturan yang terdapat dalam fikih, dari mazhab manapun, tanpa memperhatikan aliran teologisnya, dapat saja "disandingkan" dengan mazhab dari aliran teologis yang berbeda selama hal itu dapat menjawab kebutuhan hukum masyararakat dan tidak bertentangan dengan jiwa syara’.
C.     . Urgensi Kodifikasi Hukum Kelurga.
Berangkat dari uraian sederhana di atas, terlihat ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dengan ide kodifikasi dan unifikasi (taqnîn), antara lain untuk memberikan batasan yang jelas tentang hukum yang akan diberlakukan sehingga ada kepastian hukum karena kejelasan acuan dan patronnya itu. Di samping itu dapat membantu para hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus yang dihadapi, tanpa harus melakukan ijtihâd lagi. Mengingat bahwa sulitnya ditemukan hakim yang berprediket mujtahid tersebut dewasa ini.
Selain itu, kodifikasi yang telah dilakukan juga bisa digunakan orang Islam untuk mengevaluasi dirinya dan aturan kekhalifahan yang berbelit-belit.Kebutuhan lain dari kodifikasi atau unifikasi hukum adalah guna menyelamatkan hukum dari disintegrasi. Begitu pula, proses unifikasi itu membutuhkan rangsangan baik dari dalam hukum itu sendiri maupun dari tokoh-tokoh yang berwenang di bidang tersebut.
Urgensi kodifikasi hukum tersebut (dalam hal ini tidak hanya hukum keluarga saja sebenarnya) semakin kentara terlihat jika kita merujuk kepada kenyataan di masa klasik, di mana ketentuan hukum yang diberlakukan itu diacukan kepada formulasi yang terdapat dalam khazanah fikih yang tersebar di berbagai kitab.Di masa itu, fenomena ini tidak menimbulkan masalah karena ketika itu masing-masing kerajaan atau dinasti secara resmi menggunakan satu mazhab teologi dan fikih. Jadi jika muncul suatu perkara maka dapat diselesaikan oleh hakim yang bermazhabfikih syafi'iyyah dan bermazhab teologi asy'ariyyah terhadap pihak-pihak berperkara yang bermazhab fikih dan teologi yang sama[4].
Akan tetapi, dalam kondisi di mana suatu pemerintahan tidak memiliki (terutama) mazhab fikih resmi, sebagaimana yang terjadi di masa modern ini, tentu akan ditemui kesulitan tentang kepada fikih mazhab apa norma hukum itu akan diacukan. Sebab, sebagaimana diketahui, dalam fikih, khilâfiyyah itu tidak hanya terjadi antar mazhab tapi juga dalam satu mazhab.Di sinilah kelihatan sangat pentingnya dilakukan kodifikasi dan unifikasi hukum tersebut dalam sebuah perundang-undangan yang mendapat legalitas formal dari pemerintahan yang sah, sehingga suatu produk hukum itu mempunyai daya ikat yang efektif. Dengan demikian hak-hak setiap individu dalam suatu komunitas masyarakat akan terjaga dengan baik.
Di samping itu, kodifikasi tersebut dilakukan setelah wilayah Islam dijajah oleh negara-negara Eropa dan terkotak-kotak menjadi banyak negara, besar dan kecil. Hal itu dilakukan dalam rangka menghindari pengaruh hukum Eropa terhadap masyarakat muslim. Para ulama dan pakar hukum Islam di berbagai negara tersebut berupaya untuk melakukan kodifikasi hukum Islam (fikih), walaupun tidak meliputi seluruh aspek[5].
Apabila hukum dalam suatu negara tidak satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dan peradilan lainnya.Hal ini bukan saja membingungkan umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradilan dengan pradilan lainnnya.Dalam kaitan ini kodifikasi hukum merupakan suatu tuntutan zaman yang tidak dapat dihindari, karena tidak semua orang mampu merujuk kepada kitab-kitab fikih dalam berbagai mazhab, khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab.Namun demikian, kodifikasi hukum Islam (fikih) tidak bersifat kaku. Artinya, kalau di kemudian hari ternyata tuntutan zaman dan perubahan masyarakat menghendaki hukum lain dan penerapan sebagian materi hukum yang telah dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan masyarakat, maka pihak pemerintah harus melakukan perubahan materi hukum tersebut, sesuai dengan kaidah.

Dalam kondisi di mana perubahan harus dilakukan, sementara al-Qur'an dan Sunnah tidak memberikan formulasi praktis terhadap persoalan yang dihadapi, maka mazhab dan kitab-kitab fikih klasik akan menjadi rujukan, minimal jadi panduan, untuk merumuskan hukum baru tersebut. Hal itu dianggap penting bukan karena taqlid atau pengkultusan terhadap mazhab tertentu, tetapi lebih didasarkan pada autentisitas pemahaman terhadap jiwa syâri'at berdasarkan kedekatan pada Rasul dan periode kerasulan.

















PENUTUP

D.    KESIMPULAN
            Ada satu hal penting yang kira perlu ditegaskan ulang pada penutup tuisan ini, yaitu kodifikasi akan membuat tugas penegak hukum semakin efektif dan efisien. Namun demikian, hakim sebagai pionir hukum, tetap dituntut memaksimalkan potensi intelektual, emosional dan spiritualnya untuk melakukan ijtihad (betapapun minimnya) dalam meselesaikan perkara yang dihadapinya. Karena tidak akan pernah ditemukan dua perkara —jangankan lebih— yang diajukan ke pengadilan dengan karakteristik dan latar belakang yang persis sama.














Daftar Pustaka
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung : Mizan, 1992.
Kharlie Tholabi Ahmad, Hukum Keluraga Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Nasution,  Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Cet, VIII, 1991.
Rofiq Ahmad, Hukum Keluarga islam, PT. Grafika Persada, Jakarta, 1998.






[1]  Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, (Bulan Bintang, Cet, VIII, 1991), hal 17

[2] Ahmad tholiq kharli Hukum Keluarga Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) hal. 19.

[3] Ahmad rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja persada, 1998), hal 27

[4] Nurcholis,. Madjid. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,. (Bandung : Mizan, 1992.), hal 17

5 Ibid, hal 21-31

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAKAK BERADIK