- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Makalah Hukum Keluarga Islam
KODIFIKASI HUKUM KELUARGA
DI DUNIA ISLAM KONTEMPORER
Oleh :
Muhammad
Ilham Purnama
140101062
Dosen Pembimbing :
H. Edi Darmawijaya,
S.Ag, M.Ag
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
FAKULTAS
SYARIAHJURUSAN HUKUM KELUARAGA
DARUSSALAM,
BANDA ACEH
2015
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kodifikasi dalam bahasa Arabnya
disebut dengan taqnîn.Ia seakar dengan kata qanûn, yang terambil dari bahasa
Yunani, canon, melalui bahasa Siryani. Secara etinologi, qanûn berarti
"ukuran segala sesuatu" (al-mishtharah).Dalam perkembangan
selanjutnya, kata ini digunakan untuk menyebut "suatu peraturan"
(al-qâ'idah).). Pengertian inilah yang masyhur dan umum digunakan sampai
sekarang.Ulama fikih mengemukakan bahwa secara terminologis al-taqnîn bisa
diartikan sebagai "penetapan —oleh penguasa— sekumpulan undang-undang
untuk mengatur masalah tertentu".
B. RUMUSAN MASALAH
1.2
Permasalahan
1. Bagaimana
Sejarah Kodifikasi
Hukum Islam
2. Bagaimana
Sejarah
Kodifikasi Hukum Keluarga Islam
3. Bagaimana
Urgensi
Kodifikasi Hukum Kelurga
1.3
Tujuan
Pembahasan
1. Menjelaskan
bagaimana Sejarah
Kodifikasi Hukum Islam
2. Menjelaskan
bagaimana Sejarah
Kodifikasi Hukum Keluarga Islam
3. Menjelaskan bagaimana Urgensi
Kodifikasi Hukum Kelurga
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kodifikasi Hukum Islam
Pemikiran
tentang al-taqnîn dalam Islam sebenarnya telah dimulai sejak zaman al-khulafâ`
al-râsyidîn, ketika Umar mengajukan usulan kepada Khalifah Abu Bakar untuk
membukukan al-Qur'an. Kemudian pada masa Umar bin Abdul Aziz jadi khalifah,
dilakukan pula taqnîn terhadap sunnah Rasulullah SAW[1].
Sedang
ide taqnîn terhadap hukum Islam atau fikih, pertama kali dicanangkan oleh Abu
Muhammad Ibn al-Muqaffa'.Ia adalah seorang pegawai administrasi di masa
kekasaan al-Mansur (berkuasa 754-775). Ia menghimbau khalifah, melalui bukunya
yang Risâlah al-Shahâbah, untuk melakukan taqnîn karena menurutnya terdapat
kekacauan hukum dan peradilan ketika itu. Ia menyarankan agar hukum yang
dikodifikasi itu tidak berasal dari satu mazhab fikih saja, melainkan diambil
dari berbagai pendapat mazhab fikih yang lebih sesuai dengan kondisi dan
kemaslahatan yang menghendaki.
Tapi
khalifah tidak mengikuti saran itu sepenuhnya; malah mereka menganggap hal itu
melanggar kesalehan. Mereka mencoba "memurnikan" masyarakat muslim
dari hal-hal yang mereka rasa, secara social, berbahaya dan asing. Ironisnya
"pemurnian Islam" Bani Abbasiyah bersamaan waktunya dengan penyerapan
berbagai ilmu pengetahun (filsafat) dari Yunani dan Persia serta cerita rakyat
mengenai paham tauhid pra-Islam yang sebagian berpengaruh penting sampai saat
ini, seperti digambarkan oleh cerita para nabi yang ditulis oleh Al-Kisa'iy
(ahli nahu dan guru privat seorang pangeran).Sungguhpun Bani Abassiyah tetap
memelihara administrai pengadilan, seperti Bani Umayyah, mereka juga
mempromosikan studi ilmu dan status para pencarinya.Dalam hal itu, mereka
sangat membantu perkembangan taqnîn, yaitu kemunculan suatu badan hukum mandiri
(syari'ah).
Selanjutnya,
Khalifah al-Mansur meminta Imam Malik untuk menuliskan sebuah buku yang
mencakup seluruh maslaah fikih dan memberi waktu selama satu tahun untuk
menyelesaikanya.Walau pada awalnya menolak, Imam Malik akhirnya menyusun kitab
al-Muwâththa` dan menyerahkannya kepada Muhammad bin al-Mahdi (utusan khalifah)
sesuai dengan batas waktu yang ditentukan.Namun demikian, penerapan kitab hasil
kodifikasi tersebut tidak berjalan dengan lancar.
Kodifikasi
hukum Islam yang sesungguhnya baru terlaksana pada tahun 1293 H/1876 M oleh
Kerajaan Turki Usmani (Ottoman) dengan menerbitkan kitab yang berjudul Majallah
al-Ahkâm al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani), yang diberlakukan
di seluruh wilayah kekuasaan Tur ki
Usmani ketika itu sampai dasawarsa ketiga abad ke-20.Akan tetapi, kodifikasi hukum yang
dihimpun ulama fikih di zmaan Turki Usmani ini hanya mencakup bidang muamalah
dan berasal dari satu mazhab, yaitu Mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah, yang tidak
tunduk sepenuhnya kepada kerajaan Turki Usmani, tidak menerima kodifikasi hukum
fikih tersebut karena meyoritas umat Islam di kedua tempat itu bermazhab
Syâfi'iy.
Setelah
perang dunia ke-2, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab, yang
diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula oleh kodifikasi tahun 1883.
Kodifikasi Mesir ini merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat
(Eropa). Setelah itu, pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar
hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir bidang perdata yang diambil secara
murni dari hukum Islam (fikih). Lebih lanjut, kodifikasi di Mesir mengalami
beberapa kali perubahan, antara lain pada tahun 1920, 1929, dan 1952.Berikutnya
muncul berbagai kodifikasi hukum di berbagai negara, seperti Irak (tahun 1951
dan 1959 dan diubah tahun 1963 dan 1978), di Yordania (tahun 1951 dan diubah
pada tahun 1976), Libanon (tahun 1917 dan 1934), Suriah (tahun 1949, 1953 dan
1975), Libya (tahun 1953), Maroko (tahun 1913 dan 1957), Tunisia (tahun 1906,
1913, dan 1958), Sudan (tahun 1967), Kuwait (tahun 1983, dan Uni Emirat Arab
(tahun 1979, 1980, 1984, 1985, dan 1986). Kodifikasi tersebut lebih banyak
dilakukan dalam bidang hukum keluarga[2].
Walau
kenyataannya kodifikasi telah dilakukan, namun para ulama fikih mengemukakan
beberapa kelemahan upaya tersebut. Di antara kelemahan itu adalah:
1.
Munculnya kekakuan hukum, sementara peradaban dan persoalan
manusia terus berkembang. Dengan adanya kodifikasi, maka banyak persoalan yang
tidak terjawab oleh ketentuan yang ada. Artinya kodifikasi menjadi faktor yang
memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
2.
Mandeknya upaya ijtihad.
3.
Menimbulkan taklid baru terhadap pendapat yang dinyatakan
sebagai peraturan yang telah dikodifiksi, dan hal itu bertentangan dengan
ungkapan ikhtilâf alâ al-a`immah rahmah.
Di samping
itu, kodifikasi juga memberikan dampak positif yang juga perlu dipertimbangkanDi
antara sisi positifnya itu adalah:
1.
Memudahkan para praktisi hukum untuk merujuk hukum sesuai
dengan keingannya, tanpa harus menelusuri dan mentakhrij perbedaan pendapat,
baik ulama antar mazhab maupun ulama dalam satu mazhab.
2.
Mengukuhkan fikih Islam dengan mengemukakan pendapat paling
kuat bagi para praktisi hukum dan hakim yang di zaman modern ini umumnya belum
memenuhi syarat mujtahid. Hal ini dirasakan lebih penting lagi bagi orang awam
atau orang yang tidak punya kesempatan banyak untuk menggali dan meneliti
pendapat yang paling kuat di antara berbagai pendapat yang berbeda.
3.
Menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktisi hukum
yang juga sering menjadi kendala di lembaga hukum dan pengadilan.
4.
Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga-lembaga peradilan.
Meskipun
ada kekhawatiran terhadap kodifikasi hukum, akhirnya ulama lebih banyak
mendukung ide kodifikasi di negara masing-masing, karena terdesak oleh situasi
dan kondisi sosio-kultural dan politik.Bahkan di berbagai negara, kodifikasi
hukum disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan bidangnya masing-masing, seperti
kodifikasi bidang hukum perdata, pidana, perseorangan serta keluarga,
peradilan, tata usaha negara, administrasi negara dan keuangan Negara.
Kodifikasi hukum untuk umat Islam di Indonesia sudah ada
sejak masa penjajahan, tetapi statusnya masih berada di bawah dominasi hukum
adat, sebab teori resepsi sangat berpengaruh dalam sistem hukum saat itu.
Karenanya dapat dikatakan bahwa kodifikasi tersebut baru dimulai pada tahun
1974 dengan munculnya kodifikasi Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974)
dengan peraturan pelaksanaannya (PP. No. 7/1989 dan PP No. 10/1983), yang
mengatur perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil dan ABRI.Kemudian
muncul lagi Undang-undang Peradilan Agama (UU No. 7/1989 yang diubah sebagian
isinya dengan UU No. 3/2006). Undang-undang ini pada dasarnya merupakan
tuntutan dari UU No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang
mengakui adanya empat macam peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama.Keempat
peradilan ini memiliki kedudukan sama dan berwenang secara mandiri mengadili
perkara-perkara yang menjadi wewenangnya. Selanjutnya, keluar pula Inperes RI
No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan,
perceraian, waris, wakaf, wasiat dan hibah.
Sebelum
UU No. 1/1974, UU No. 7/1989, dan Inpres RI No. 1/1991, di Indonesia telah ada
peraturan yang mengatur peradilan agama serta materi hukumnya, namun semua itu
adalah produk dari zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kodifikasi hukum
Islam di atas merupakan produk putra-putri Indonesia, yang menyangkut hukum
Islam di Indonesia.
B. Sejarah Kodifikasi Hukum Keluarga
Islam
Kajian
tersendiri terhadap masalah hukum keluarga baru dimulai sekitar paro kedua abad
ke-19. Sebelumnya hukum perseorangan dan keluarga itu tersebar dalam berbagai
bab fikih. orang yang pertama memisahkannya dalam suatu kajian tersendiri
adalah Muhammad Qudri Pasya, ahli hukum Islam di Mesir. Dialah orang pertama
yang mengkodifikasikan al-ahwâl al-syakhshiyyaħ dalam suatu buku yang berjudul
al-Ahkâm al-Syar'iyyah fî al-Ahwâl al-Syakhshiyyah (hukum syâri'at/agama dalam
hal keluarga).Kodifikasi hukum keluarga itu meliputi hukum perkawinan,
perceraian, wasiat, ahliyyaħ (kecakapan bertindak hukum), harta warisan, dan
hibah.Meskipun belum dinyatakan resmi berlaku oleh pemerintah, kodifikasi
tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan
berbagai masalah pribadi dan keluarga di pengadilan.Dalam perkembangan
selanjutnya, kodifikasi itu dijadikan pedoman dan diterapkan pada Mahkamah
Syar'iyyaħ Mesir.Pasal 13 Kitab Undang-undang Acara Peradilan Mesir menyebutkan
bahwa al-ahwâl al-syakhshiyyaħ menyangkut maslaah-masalah yang berhubungan
dengan pribadi, ahliyyaħ, dan keluarga (seperti perkawinan dan berbagai akibat
hukumnya, pengampuan, orang mafqud dan harta warisan)[3].
Penerapan
hukum keluarga di Kerajaan Turki Usmani dimulai sejak al-ahwâl al-syakhshiyyah
dikodifikasikan pada tahun 1917, yang diberi nama Qanûn Huqûq al-`A'ilah
al-'Usmaniy (undang-undang hak keluarga di Turki Usmani). Hukum tersebut
berlaku untuk seluruh wilayah kerajaan Turki Usmani, kecuali Mesir yang diberi
otonomi penuh pada tahun 1805 dan memerdekakan diri dari kekuasaan Turki pada
tahun 1873. Keistimewaan Qanûn al-Huqûq al-`A'ilah al-'Usmaniy ini adalah bahwa
hukum yang terkandung di dalamnya tidak lagi terikat pada Mazhab Hanafi mazhab
resmi negara, tetapi merupakan gabungan dari pendapat-pendapat terkuat dari
mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syâfi'iy dan Hanbali). Selain itu, dalam
beberapa hal ditemukan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan
dan dinamika masyarakat.
Pada
awalnya Qanûn al-Huqûq al-A'ilah al-'Usmaniy hanya meliputi sengketa
yangberkaitan dengan perkawinan dan perceraian.Tapi perkembangan di
negara-negara Arab yang berada di bawah kekuasaannya ditemukan perubahan dan
penambahan bidang cakupannya. Di Suriah, hukum keluarga Turki ini berlaku
sampai tahun 1953. Setelah itu, cakupannya diperluas sampai mencakup
permasalahan wasiat, ahliyyah, harta warisan, dan wakaf.Hukum yang telah
disempurnakan itu dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 November 1953.
Sementara
kerajaan Arab Saudi, yang tidak mengenal adanya hukum al-ahwâl al-syakhshiyyah,
para hakim pada umumnya menyelesaikan perkara hukum keluarga dengan merujuk
pada kitab-kitab fikih mazhab Hanbali mazhab resmi negara. Hal yang sama juga berlaku
di Yaman. Dalam menyelesaikan hal itu, para hakim menggunakan kitab-kitab fikih
mazhab Zaydiyyah sebagai pedoman, karena kebanyakan umat Islam di sana
bermazhab Zaydiyyah.
Dalam
perkembangan lebih lanjut, uraian al-ahwâl al-syakhshiyyah telah lebih
sistematis dan lebih mudah dipahami, karena telah diklasifikasikan dalam tiga
bagian besar, yaitu:
1. Ketentuan hukum mengenai kedudukan seseorang di depan hukum, yaitu tentang ahliyyah serta wewenang yang bisa dipikulnya. Di samping itu, juga diuraikan hal-hal yang dapat menghilangkan ahliyyah itu sendiri.
1. Ketentuan hukum mengenai kedudukan seseorang di depan hukum, yaitu tentang ahliyyah serta wewenang yang bisa dipikulnya. Di samping itu, juga diuraikan hal-hal yang dapat menghilangkan ahliyyah itu sendiri.
2. Ketentuan
hukum yang menyangkut tata cara berkeluarga.
3.Ketentuan
hukum yang menyangkut harta bersama dalam hubungan dengan masalah warisan.
Di
Indonesia, persoalan al-ahwâl al-syakhshiyyah talah dikodifikasikan melalui
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan berdasarkan Inpres No. 1/1991 dan
Kep.Menag No. 154/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.Secara garis besarnya, KHI
dibagi menjadi tiga bagian (disebut dengan istilah Buku) yang mengatur tiga
persoalan utama, yaitu Buku I tentang perkawinan dan berbagai aspeknya, Buku II
tentang pembagian harta warisan, dan Buku III tentang hukum perwakafan.
Kodifikasi
yang dilakukan di berbagai negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas
muslim, termasuk Indonesia, secara jelas mengarah pada unifikasi. Di mana
berbagai aturan yang terdapat dalam fikih, terutama yang berkaitan dengan hukum
keluarga, dipilih dan ditetapkan sebagai aturan yang mengikat bagi umat Islam
di negara itu.
Dalam
pemahaman secara luas, penulisan berabgai kitab fikih pada masa klasik juga
bisa disebut sebagai kodifikasi dan unifikasi.Tapi penulisan kitab fikih itu
memiliki perbedaan penting dengan kodifikasi dan unifikasi hukum di zaman
modern.Penulisan kitab fikih biasanya selalu didasarkan pada "alur
pikir" tertentu yang merujuk pada Imam "utama" perumus alur
pikir tersebut. Selain itu, penulisan itu juga dilakukan dengan mengikuti suatu
aliran teologis tertentu. Sementara kodifikasi dan unifikasi pada zaman modern
tidak selalu didasarkan pada alur pikir mazhab tertentu dan juga sering
dilakukan dengan cara "lintas teologis". Artinya, selama suatu aturan
yang terdapat dalam fikih, dari mazhab manapun, tanpa memperhatikan aliran
teologisnya, dapat saja "disandingkan" dengan mazhab dari aliran
teologis yang berbeda selama hal itu dapat menjawab kebutuhan hukum
masyararakat dan tidak bertentangan dengan jiwa syara’.
C. . Urgensi Kodifikasi Hukum Kelurga.
Berangkat
dari uraian sederhana di atas, terlihat ada beberapa tujuan yang hendak dicapai
dengan ide kodifikasi dan unifikasi (taqnîn), antara lain untuk memberikan
batasan yang jelas tentang hukum yang akan diberlakukan sehingga ada kepastian
hukum karena kejelasan acuan dan patronnya itu. Di samping itu dapat membantu
para hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus yang
dihadapi, tanpa harus melakukan ijtihâd lagi. Mengingat bahwa sulitnya
ditemukan hakim yang berprediket mujtahid tersebut dewasa ini.
Selain
itu, kodifikasi yang telah dilakukan juga bisa digunakan orang Islam untuk
mengevaluasi dirinya dan aturan kekhalifahan yang berbelit-belit.Kebutuhan lain
dari kodifikasi atau unifikasi hukum adalah guna menyelamatkan hukum dari
disintegrasi. Begitu pula, proses unifikasi itu membutuhkan rangsangan baik
dari dalam hukum itu sendiri maupun dari tokoh-tokoh yang berwenang di bidang
tersebut.
Urgensi
kodifikasi hukum tersebut (dalam hal ini tidak hanya hukum keluarga saja
sebenarnya) semakin kentara terlihat jika kita merujuk kepada kenyataan di masa
klasik, di mana ketentuan hukum yang diberlakukan itu diacukan kepada formulasi
yang terdapat dalam khazanah fikih yang tersebar di berbagai kitab.Di masa itu,
fenomena ini tidak menimbulkan masalah karena ketika itu masing-masing kerajaan
atau dinasti secara resmi menggunakan satu mazhab teologi dan fikih. Jadi jika
muncul suatu perkara maka dapat diselesaikan oleh hakim yang bermazhabfikih
syafi'iyyah dan bermazhab teologi asy'ariyyah terhadap pihak-pihak berperkara
yang bermazhab fikih dan teologi yang sama[4].
Akan
tetapi, dalam kondisi di mana suatu pemerintahan tidak memiliki (terutama)
mazhab fikih resmi, sebagaimana yang terjadi di masa modern ini, tentu akan
ditemui kesulitan tentang kepada fikih mazhab apa norma hukum itu akan diacukan.
Sebab, sebagaimana diketahui, dalam fikih, khilâfiyyah itu tidak hanya terjadi
antar mazhab tapi juga dalam satu mazhab.Di sinilah kelihatan sangat pentingnya
dilakukan kodifikasi dan unifikasi hukum tersebut dalam sebuah
perundang-undangan yang mendapat legalitas formal dari pemerintahan yang sah,
sehingga suatu produk hukum itu mempunyai daya ikat yang efektif. Dengan
demikian hak-hak setiap individu dalam suatu komunitas masyarakat akan terjaga
dengan baik.
Di
samping itu, kodifikasi tersebut dilakukan setelah wilayah Islam dijajah oleh
negara-negara Eropa dan terkotak-kotak menjadi banyak negara, besar dan kecil.
Hal itu dilakukan dalam rangka menghindari pengaruh hukum Eropa terhadap
masyarakat muslim. Para ulama dan pakar hukum Islam di berbagai negara tersebut
berupaya untuk melakukan kodifikasi hukum Islam (fikih), walaupun tidak
meliputi seluruh aspek[5].
Apabila
hukum dalam suatu negara tidak satu, maka akan muncul perbedaan keputusan
antara satu peradilan dan peradilan lainnya.Hal ini bukan saja membingungkan
umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan
antara satu peradilan dengan pradilan lainnnya.Dalam kaitan ini kodifikasi
hukum merupakan suatu tuntutan zaman yang tidak dapat dihindari, karena tidak
semua orang mampu merujuk kepada kitab-kitab fikih dalam berbagai mazhab,
khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab.Namun demikian, kodifikasi
hukum Islam (fikih) tidak bersifat kaku. Artinya, kalau di kemudian hari
ternyata tuntutan zaman dan perubahan masyarakat menghendaki hukum lain dan penerapan
sebagian materi hukum yang telah dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan
kemaslahatan masyarakat, maka pihak pemerintah harus melakukan perubahan materi
hukum tersebut, sesuai dengan kaidah.
Dalam
kondisi di mana perubahan harus dilakukan, sementara al-Qur'an dan Sunnah tidak
memberikan formulasi praktis terhadap persoalan yang dihadapi, maka mazhab dan
kitab-kitab fikih klasik akan menjadi rujukan, minimal jadi panduan, untuk
merumuskan hukum baru tersebut. Hal itu dianggap penting bukan karena taqlid
atau pengkultusan terhadap mazhab tertentu, tetapi lebih didasarkan pada
autentisitas pemahaman terhadap jiwa syâri'at berdasarkan kedekatan pada Rasul
dan periode kerasulan.
PENUTUP
D. KESIMPULAN
Ada
satu hal penting yang kira perlu ditegaskan ulang pada penutup tuisan ini,
yaitu kodifikasi akan membuat tugas penegak hukum semakin efektif dan efisien. Namun
demikian, hakim sebagai pionir hukum, tetap dituntut memaksimalkan potensi
intelektual, emosional dan spiritualnya untuk melakukan ijtihad (betapapun
minimnya) dalam meselesaikan perkara yang dihadapinya. Karena tidak akan pernah
ditemukan dua perkara —jangankan lebih— yang diajukan ke pengadilan dengan
karakteristik dan latar belakang yang persis sama.
Daftar Pustaka
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung : Mizan, 1992.
Kharlie
Tholabi Ahmad, Hukum Keluraga Islam,
Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Bulan
Bintang, Cet, VIII, 1991.
Rofiq
Ahmad, Hukum Keluarga islam, PT.
Grafika Persada, Jakarta, 1998.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan populer dari blog ini
COVER MODUL
KAKAK BERADIK
Hubungan persaudaraan yang sebenarnya adalah ketika saudaramu sdh sama2 berumah tangga.... Akankah hubungan itu masih sama ketika masa kecil dahulu...ketika bertengkar kemudian bermain bersama lagi.... Ketika ada yg mengganggumu...kemudian kau panggil kakakmu....lalu dg badanx yg lebih besar dia membelamu Krn kau adl adiknya... Atau ketika kau membela adikmu yg memang bersalah.....demi sebuah kata Krn dia adikku Ketika makanan yang dihidangkan ibumu....dibagi bersama saudaramu Satu makan tempe maka semua tempe....tak ada yg dipilih kasih...satu makan telor maka dibagilah telornya jika hanya satu butir Atau ketika bpkmu pergi kondangan dan membawa....satu tempat makanan....pasti berebut makanan kesukaan....tapi ujung2x....makan bersama dalam satu wadah Ah.....betapa akan sangat dirindukan hal2 seperti itu Akankah moment kebersamaan itu masih ada ketika kalian sdh berumah tangga??? Ketika satu menjadi kaya yg lain hanya biasa saja....ketika satu menjadi org terhor
Komentar
Posting Komentar