KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB, DAN HATI NURANI

Makalah Ilmu Akhlak/Tasawuf

KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB, DAN HATI NURANI

OLEH:
KELOMPOK V:

Supina (180201140)
Muhammad Irsan (170201147)


DOSEN PENGAMPU:
Isnawardatul Bararah,S.Ag., M.Pd


 





PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI AR-RANIRY
BANDA ACEH

2019






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap  manusia pasti selalu menginginkan kebebasan dalam hidupnya. Kebebasan dalam berpikir, berekspresi maupun dalam melakukan kegiatannya, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja maupun yang dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Mereka diberi kebebasan dalam melakukan sesuatu asalkan sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan, tidak juga melampaui batas wajar syariat.  Manusia hidup didunia pasti memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan kehidupannya, baik itu tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, terhadap agama maupun budaya. Adanya akibat ini maka seorang manusia mempunyai taggung jawab atas apa yangdiperbuatnya.
Kebebasan seseorang akan menyebabkan timbulnya tanggung jawab.Tangung jawab tersebut membuat manusia melakukan kebebasan berdasarkan hati nurani. Banyak manusia yang tidak mengetahui dasar-dasar kebebasan yang telah ditentukan , karenanya kita sebagai manusia yang mayoritas mencintai kebebasan setidaknya kita memahami apa itu kebebasan yang bertanggung jawab yang berpengaruh pada hati nurani.
Oleh karena itu, hati nurani yang menjadi dasar pertimbangan seseorang dalam berbuat. Jika seseorang mampu berbuat kebaikan sesuai hati nuraninya maka dengan mudah ia dapat mempertanggung jawabkan apa yang dibuatnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian kebebasan?
2.      Apa pengertian tanggung jawab?
3.       Apa pengertian Hati Nurani?
4.      Bagaiman hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak?


 BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kebebasan
Di antara masalah yang menjadi bahan perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Para ahli teologiter membagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauannya sendiri. Kedua kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan. Diibaratkan sebagai wayang yang mengikuti sepenuhnya oleh kehendak dalang.[1]
Di zaman baru, perdebatan masalah kebebasan dan keterpaksaan tersebut muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs dan Malebrache berpendapat bahwa manusia melakukan suatu karena terpaksa. Sementara sebagian ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia meliliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya.[2]
Disebut bebas apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan atau keterkaitan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas dari apa, tertapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seseorang disebut bebas apabila :
a.       Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannya,
b.       Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya,
c.       Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri. Oleh kehendak orang lain, Negara ataupun kekuasaan apapun.[3]

Selain itu kebebasan meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerimanya apa adanya. Misalnya keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita, keterbatasan asal keturunan kita, bentuk tubuh kita, dan sebagainya. Namun keterbatasan yang demikian itu sifatnya  fisik, dan tidak membatasi kebebasan yang sifatnya rohaniah. Dengan demikian keterbatasan-keterbatasan tersebut tidak mengurangi kebebasan kita.[4]
Dilihat dari sifatnya, kebebasan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a.       Kebebasan Jasmaniyah
Kebebasan jasmaniah merupakan kebebasan dalam mengerakkan dan mempergunakan anggota badan yang dimiliki. Dan jika dijumpai adanya batas-batas jangkauannya yang dapat dilakukan anggota badan kita, hal itu tidak mengurangi kebebasan, melainakan menentukan sifat dari kebebasan itu.
b.      Kebebasan kehendak (rohaniah)
Kebebasan kehendak (rohaniah) merupakan kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berfikir, karena manusia dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja.
c.       Kebebasan Moral
Dalam arti luas berarti tidak adanya macam – macam ancaman, tekanan, larangan dan  tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan – kemungkinan untuk bertindak.[5]
Manusia dalam bertindak yaitu  melakukan sesuatu dengan sengaja, dengan maksud dan tujuan tertentu. Kebebasan mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti manusia dapat menentukan sendiri tindakannya. Dengan demikian kebebasan ternyata merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat menetukan dunianya dan dirinya sendiri.[6]

B.     Tanggung Jawab
Selanjutnya kebebasan sebagaimana disebutkan di atas itu ditantang jika berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada tanggung jawab. Disinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung jawab.[7]
Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti: (1) Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, (2)  Kemampuan untuk bertanggung jawab, (3) Kedewasaan manusia, dan (4)  Keseluruhan kondisi yang memungkinkan melakukan tujuan hidupnya.[8]
Tanggung jawab dapat terbagi menjadi beberapa ruang lingkup, diantaranya :
a.       Tanggung Jawab Agama.
Manusia lahir dengan dibekali oleh Allah SWT berbagai potensi yang dimilikinya, potensi tersebut diberikan Allah agar manusia mampu menjadikhalifah (wakil) Allah dimuka bumi. Potensi tersebut diberikan sebagai alat untuk mengurus alam dan seisinya dan agar manusia senantiasa menyembah Allah. Potensi tersebut, tidak diberikan dengan gratis dan tanpa pengawasan, melainkan agar dimintai pertanggungjawabannya. Tentang bentuk pertanggungjawabannya perbuatan manusia  tersebut, tercantum pada firman Allah:

Artinya: “ Kemudian akan ditanya pada hari itu (kiamat) akan nikmat-nikmat (yang telah dianugerahkan kepadanya).” (QS. At- Takatsur: 8)

b.      Tanggung Jawab Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat tentu ada suatu aturan yang harus dipatuhi oleh semua anggotanya. Peraturan tersebut merupakan wujud tanggung jawab perseorangan terhadap lingkungan sosialnya yang bertujuan untuk ketertiban dan kemamukmaran serta menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut.
c.       Tanggung Jawab Akhlak (sosial)
Fitrah manusia adalah cenderung kepada kebaikan, dan tanggung jawab merupakan bagian dari fitrah manusia. Oleh karena itu, perbuatan buruk merupakan sesuatu yang bertentangan dengan moralitas manusia.
d.      Tanggung Jawab Hati Nurani
Hati nurani diartikan sebagai kekuatan yang memperingatkan manusia dan mencegahnya unutk berbuat buruk. Tanggung jawab terhadap hati nurani berbentuk keinginan untuk selalu mengikuti kehendak hati untuk melakukan kebaikan. Bila tindakan seseorang berlawanan dengan hati nuraninya maka sudah pasti hidupnya dalam kegelisahan.
Dengan demikian, tanggung jawab dalam kerangka akhlaq adalah bahwa keyakinan tindakannya itu baik. Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut dilakukan bukan karena  pilihan akalnya yang sehat. Selain itu tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang dapat menyuarakan kebenaran. Seseorang baru dapat disebut bertanggung jawab apabila secara intuisi perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.[9]


C. Hati Nurani
Hati nurani didalam bahasa barat dikenal dengan istilah : Conscience, Conscientia, Gewissen, GewetenConscientia (Latin) merupakan terjemahan dari Suneidesis (Yunani), yang arti umumnya “sama-sama mengetahui perbuatanorang lain”. Jadi Suneidesis itu di tujukan kepada perbuatan sendiri, maka Suneidesis dapat diterjemahkan dengan “sadar akan” (perbuatannya sendiri).[10]
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka pada keburukan. Atas dasar ini muncullah paham intuisisme yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani.[11]
Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.[12]

D.    Hubungan antara Kebebasan, Tanggung jawab, dan Hati Nurani dengan Akhlaq
Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang dapat dinilai berakhlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilakukan dengan tulus ikhlas. Dengan demikian, perbuatan yang berakhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara bebas. Disinilah letak hubungan antara kebebasan dengan perbuatan akhlak.
            Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang seperti inilah yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya dari orang yang melakukannya. Disinilah letak hubungan tanggung jawab dengan akhlak.
            Dalam pada itu perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yang melakukannya, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada hati sanubari, maka hubungan akhlak dengan kata hati menjadi demikian penting.
            Dengan demikian, masalah kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang menentukan suatu  perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatn akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam membahas akhlak seorang tidak dapat meninggalkan pembahasan mengenai kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.   Kebebasan merupakan hak seseorang untuk berekspresi dan melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya tanpa ada tekanan dari pihak lain namun tetap pada batas-batas tertentu. Kebebasan menurut sifatnya dibedakan menjadi 3: kebebasan jasmaniah, kebebasab kehendak dan kebebasan moral.
2.   Tanggung jawab adalah sikap dimana seseorang dapat dimintai penjelasan mengenai apa yang telah diperbuat, tidak hanya menjawab tapi juga tidak mengelak.
3.   Hati nurani merupakan perasaan/ suara hati manusia yang menjadi dasar pertimbangan mereka dalam melakukan suatu tindakan, dimana perbuatan tersebut cenderung kepada kebaikan. Namun tidak selamanya hati nurani berkata benar, meskipun begitu manusia cenderung untuk tetap menaati apa yang menjadi keyakinannya dalam hati mereka.
4.   Hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak sangatlah jelas dan terikat. Kebebasan muncul karena adanya keinginan dari hati nurani untuk melakukan sesuatu, perbuatan yang sesuai hati nurani dan cenderung pada kebaikan disebut sebagai perbuatan akhlaki. Perbuatan sekecil apapun akan memiliki konsekuensi yang kemudian mengharuskan pelaku bertanggung jawab atas apa yang diperbuat, entah itu  merugikan atau menguntungkan. Tidak akan ada tanggung jawab tanpa adanya kebebasan yang bersumber dari hati nurani.










DAFTAR PUSTAKA

Zubair, Achmad Charris. 1987. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers.
Nata, Abuddin. 2015. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers



[1]Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), cet. 15, hlm. 109.
[2] Ibid., hlm. 110.
[3] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), cet. 1, hlm. 39-40.
[4] Akhlak tasawuf , Op. Cit., hlm. 113
[5] Ibid., hlm. 111.
[6] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), cet. 1, hlm. 43.
[7] Akhlak tasawuf , Op. Cit., hlm. 113
[8] Ibid., hlm. 113
[9] Akhlak tasawuf , Op. Cit., hlm. 114
[10] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), cet. 1, hlm. 53.
[11] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), cet. 15, hlm. 114.
[12] Ibid., hlm. 114

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAKAK BERADIK